Dua puluh tahun yang lalu ia dilepas ayahnya
di gerbang depan rumahnya.
"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.
Jangan pulang sebelum benar-benar jadi orang."
Dua puluh tahun yang lalu ia tak punya celanayang cukup pantas untuk dipakai ke kota.Terpaksa ia pakai celana ayahnya.Memang agak kedodoran, tapi cukup keren juga."Selamat jalan. Hati-hati, jangan sampaicelanaku hilang."
Senja makin menumpuk di atas meja.Senja yang merah tua.Ibunya sering menangis memikirkan nasibnya.Ayahnya suka menggerutu,"Kembalikan dong celanaku!"
Haha, si bangsat akhirnya datang.Datang di akhir petang bersama buku-bukuyang ditulisnya di perantauan.Ibunya segera membimbingnya ke meja perjamuan.
"Kenalkan, ini jagoanku." Ia tersipu-sipu.Saudara-saudaranya mencoba menahan tangismelihat kepalanya berambutkan gerimis."Hai, ubanmu subur berkat puisi?" Ia tertawa geli.
Di atas meja perjamuan jenazah ayahnyatelentang tenang berselimutkan mambang.Daun-daun kalender beterbangan."Ayah berpesan apa?" Ia terbata-bata."Ayahmu cuma sempat bilang, kalau mati ia inginmengenakan celana kesayangannya:celana yang dulu kaupakai itu."
Diciumnya jidat ayahnya sepenuh kenangan.Tubuh yang tak butuh lagi celana adalah sakramen.Celana yang tak kembali adalah testamen."Yah, maafkan aku. Celanamu terselipdi tetumpukan kata-kataku."
2003
Puisi ini adalah puisi yang membuat saya menyukai puisi, ternyata puisi bisa seperti ini, pikir saya saat pertama kali membacanya, hingga akhirnya saya menjadikan gaya bahasa pak Jokpin role model dalam puisi-puisi saya. Terima kasih banyak pak, karyamu abadi.